Maguru ring "Salampah Laku" karyan
Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984)
Dimana makna sesungguhan dari geguritan tersebut
adalah mengajarkan kita bahwa konsep buana agung dan buana alit adalah sama,
karena bukan kekayaan yang menjadi tujuan utama melainkan keserhanaan (tong
ngelah karang sawah karang awake tandurin) dan dapat berguna untuk orang
lain (guna dusun).
10 September 1984, Bali kehilangan seorang
pengarang besar yaitu Ida Pedanda Made Sidemen. Pengarang sastra tradisional
berbagai genre itu berpulang dalam usia 126 tahun. Ida Pedanda dikenal sebagai
seorang sulinggih sederhana serta sahabat Raja Badung yaitu I Gusti
Ngurah Made Denpasar yang gugur dalam perang Puputan Badung 20 September 1906.
Tahun ini, tepat 29 tahun kawi-wiku yang juga filosof dan arsitek
tradisional Bali itu berpulang. Ada banyak karya, pemikiran dan laku diri yang
patut diteladani dari sang pandita dari Sanur ini. Sejumlah karya Ida
Pedanda Made Sidemen yang cukup penting, di antaranya Siwagama, Kakawin
Chandra Bhairawa, Kakawin Cayadijaya, Kakawin Singhalangghyala,
Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung Pisacarana, Kidung Rangsang
dan Geguritan Salampah Laku. Kesederhanaan memang menjadi jalan hidup
Ida Pedanda Made Sidemen. Dalam karya-karyanya, sahabat Raja Badung, I Gusti
Ngurah Made Agung ini menyebut diri tidak berpunya (mayasa lacur). Tidak
punya tanah sawah (tong ngelah karang sawah), sehingga memilih jalan “bercocok
tanam” di dalam diri (karang awake tandurin). Kendati begitu, Ida
Pedanda senantiasa berharap bisa bermanfaat bagi masyarakat (guna dusun).Seperti
yang termuat dalam salah satu karya beliau berjudul Salampah Laku seperti
berikut
Hana wong panggresek jagat, tan panguna tiwas
lekig, kéwala uning mangucap, kadi pangunining paksi, wahu sumrangsang aksi,
tahun kalih dasa pitu, pakeburé manglayang, maninggalin, yayah bibi, ngungsi
dusun lumayati wong kanyaka// Sateka ring paran-paran, umeneng tan wruhing
aksi, tan pabekel tan pasastra, blogé tan sihing Widhi, kapetengan ring ati,
rasa tan hana lor kidul, pangataging tri mala, ngahasi desamet nasi, adudunung,
asring anginep ring awan.

Teladan yang paling diingat masyarakat Sanur dan
Denpasar pada umumnya dari sosok Ida Pedanda Made Sidemen yakni kesederhanaan
dalam menggelar upacara pitra yadnya. Tatkala jazad sang pendeta yang
juga pengawi serta arsitek agung Bali itu di-pelebon, upacaranya jauh
dari kesan mewah atau pun megah. Tak ada lembu bertanduk emas, tiada usungan
bade menjulang tinggi, tanpa hingar-bingar pula. Kendati pelebon pada 13
September 1984 itu diiringi ribuan orang, toh yang terasa seperti kesunyian,
keheningan. Memang, upacara pelebon sederhana itu merupakan
wasiat Ida Pedanda menjelang lebar (meninggal). Ida Pedanda berpesan
kepada putrinya, Ida Ayu Pidin agar jazadnya cukup dibakar sederhana. Bahkan,
Ida Pedanda sepertinya sudah tahu kapan akan dijemput kematian. Lantaran
sebagian perlengkapan upacara pelebon-nya disiapkan sendiri. Keropak penutup
jenazahnya misalnya, sepenuhnya merupakan karya Ida Pedanda sendiri. Ida
Pedanda Made Sidemen telah menyiapkan sendiri “jalan pulang”, jalan kembali ke tanah
wayah.
Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu, Om Ksama Sampurna Ya Namah
Swaha