Om Swastiastu

Om Swastiastu

Kamis, 02 Januari 2014

Salampah Laku

Maguru ring "Salampah Laku" karyan Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984)


     10 September 1984, Bali kehilangan seorang pengarang besar yaitu Ida Pedanda Made Sidemen. Pengarang sastra tradisional berbagai genre itu berpulang dalam usia 126 tahun. Ida Pedanda dikenal sebagai seorang sulinggih sederhana serta sahabat Raja Badung yaitu I Gusti Ngurah Made Denpasar yang gugur dalam perang Puputan Badung 20 September 1906. Tahun ini, tepat 29 tahun kawi-wiku yang juga filosof dan arsitek tradisional Bali itu berpulang. Ada banyak karya, pemikiran dan laku diri yang patut diteladani dari sang pandita dari Sanur ini.  Sejumlah karya Ida Pedanda Made Sidemen yang cukup penting, di antaranya Siwagama, Kakawin Chandra Bhairawa, Kakawin Cayadijaya, Kakawin Singhalangghyala, Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung Pisacarana, Kidung Rangsang dan Geguritan Salampah Laku. Kesederhanaan memang menjadi jalan hidup Ida Pedanda Made Sidemen. Dalam karya-karyanya, sahabat Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung ini menyebut diri tidak berpunya (mayasa lacur). Tidak punya tanah sawah (tong ngelah karang sawah), sehingga memilih jalan “bercocok tanam” di dalam diri (karang awake tandurin). Kendati begitu, Ida Pedanda senantiasa berharap bisa bermanfaat bagi masyarakat (guna dusun).Seperti yang termuat dalam salah satu karya beliau berjudul Salampah Laku seperti berikut


Hana wong panggresek jagat, tan panguna tiwas lekig, kéwala uning mangucap, kadi pangunining paksi, wahu sumrangsang aksi, tahun kalih dasa pitu, pakeburé manglayang, maninggalin, yayah bibi, ngungsi dusun lumayati wong kanyaka// Sateka ring paran-paran, umeneng tan wruhing aksi, tan pabekel tan pasastra, blogé tan sihing Widhi, kapetengan ring ati, rasa tan hana lor kidul, pangataging tri mala, ngahasi desamet nasi, adudunung, asring anginep ring awan.

  
Dimana makna sesungguhan dari geguritan tersebut adalah mengajarkan kita bahwa konsep buana agung dan buana alit adalah sama, karena bukan kekayaan yang menjadi tujuan utama melainkan keserhanaan (tong ngelah karang sawah karang awake tandurin) dan dapat berguna untuk orang lain (guna dusun).
Teladan yang paling diingat masyarakat Sanur dan Denpasar pada umumnya dari sosok Ida Pedanda Made Sidemen yakni kesederhanaan dalam menggelar upacara pitra yadnya. Tatkala jazad sang pendeta yang juga pengawi serta arsitek agung Bali itu di-pelebon, upacaranya jauh dari kesan mewah atau pun megah. Tak ada lembu bertanduk emas, tiada usungan bade menjulang tinggi, tanpa hingar-bingar pula. Kendati pelebon pada 13 September 1984 itu diiringi ribuan orang, toh yang terasa seperti kesunyian, keheningan. Memang, upacara pelebon sederhana itu merupakan wasiat Ida Pedanda menjelang lebar (meninggal). Ida Pedanda berpesan kepada putrinya, Ida Ayu Pidin agar jazadnya cukup dibakar sederhana. Bahkan, Ida Pedanda sepertinya sudah tahu kapan akan dijemput kematian. Lantaran sebagian perlengkapan upacara pelebon-nya disiapkan sendiri. Keropak penutup jenazahnya misalnya, sepenuhnya merupakan karya Ida Pedanda sendiri. Ida Pedanda Made Sidemen telah menyiapkan sendiri “jalan pulang”, jalan kembali ke tanah wayah.



Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu, Om Ksama Sampurna Ya Namah Swaha







     







Tidak ada komentar:

Posting Komentar